PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pelayanan farmasi rumah
sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan
kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit,
yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan
farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Salah satu
upaya kesehatan yang
dilakukan pemerintah adalah
dengan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan rumah sakit
yang antara lain
dapat dicapai dengan penggunaan obat-obatan yang rasional dan berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan obat yang
bermutu dan terjangkau
bagi semua lapisan masyarakat (Siregar 2004). Biaya yang diserap untuk penggunaan obat
merupakan komponen terbesar dari pengeluaran rumahsakit. Dibanyak Negara
berkembang belanja obat di rumah sakit dadat menyerap sekitar 40-50% dari biaya
keseluruhan rumah sakit. Belanja perbekalan farmasi yang demikian besar
tentunay harus dikelola dengan efektif dan efisien, hal ini perlu dilakukan
mengingat dana kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai dengan
kebutuhan.
Kondisi diatas tentunya harus disikapi dengan baik-baik.
Saat ini pada tataran global telah dirintis prongram Good Governance In Pharmaceutical Sector atau
lebih di kenal dengan tata kelola obat yang baik si Sektor Farmasi. Indonesia
termasuk salah satu Negara yang berpartisipasi dalam program ini bersama 19
negara lainnya. Pemikiran tentang perlunya tatkelola obat yang baik disektor
farmasi berkembang mengingat banyaknya praktek illegal di lingkungan
kefarmasian mulai dari clinical trial, riser
dan pengadaan , registrasi, pendaftaran, paten, produksi, penetapan harga,
pengadaan, seleksi, distribusi dan trasportasi. Bentuk intransparansi dibidang
farmasi antara lain : pemalsuan data keamanan dan enyufikasi, penyuapan,
kolosi, donasi, promo yang tidak etis maupun tekanan dari berbagai pihak yang
berkepentingan dengan obat.
Pengadaan kesediaan kefarmasian di rumah sakit telah
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2016
tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Dalam Bab II Pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan media habis pakai, kegiatan
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan media habis pakai
meliputi; Pemilihan, Perencanaan kebutuhan, Pengadaan, Penerimaan, Penyimpanan,
Pendistribusian, Pengendalian, dan Administrasi.
Dalam kegiatan pemilihan kesediaan kefarmasian yang masuk
dalam ruang lingkup rumah sakit harus memenuhi peraturan yang telah ada. Maka
dari itu penulis ingin meneliti tentang kegiatan pemilihan kesediaan
kefarmasian yang masuk dalam ruang lingkup rumah sakit jiwa daerah Surakarta.
B.
Rumusan masalah
Bagaimana pendistribusian obat-obatan di rumah sakit jiwa daerah Surakarta?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik
tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuankesehatan,
kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap
mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat
agar terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya serta
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
B.
Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah
sakit, instalasi farmasi merupakan bagian dari rumah sakit yang harus menjamin
ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman
dan terjangkau yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan
mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan
teknis kefarmasian di rumah sakit, seperti pengelolaan alat kesehatan, sediaan
farmasi dan bahan habis pakai yang dilakukan dengan cara sistem satu pintu.
Adapun yang dimaksud dengan sistem satu pintu adalah rumah sakit hanya memiliki
satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium pengadaan dan
pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai yang
bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien. Instalasi farmasi rumah sakit
adalah suatu departemen atau unit atau bagian di suatu rumah sakit dipimpin oleh
seorang apoteker yang memiliki tugas melaksanakan
kegiatan kefarmasian, seperti mengawasi pembuatan obat, pengadaan obat,
pendistribusian obat/perbekalan farmasi, berperan dalam program pendidikan dan
penelitian, pembinaan kesehatan masyarakat melalui pemantauan keamanan,
efektifitas, efisiensi biaya dan ketepatan penggunaan obat oleh pasien. Dengan
demikian apoteker di rumah sakit dapat membantu tercapainya suatu pengobatan
yang aman dan rasional yang berorientasi pada pasien dan bukan hanya
berorientasi pada produk.
C.
Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut Siregar (2004), instalasi farmasi rumah sakit mempunyai fungsi nonklinik dan fungsi klinik. Fungsi nonklinik
adalah fungsi yang dilakukan tidak secara langsung, merupakan bagian terpadu yang
berasal dari pelayanan penderita, menjadi tanggung jawab apoteker rumah sakit dan
tidak memerlukan interaksi dengan profesional kesehatan lain, walaupun semua
pelayanan farmasi harus disetujui oleh staf medik melalui panitia farmasi dan
terapi. Adapun yang termasuk lingkup fungsi farmasi nonklinik adalah
perencanaan, penetapan spesifikasi produk dan pemasok, pengadaan, pembelian,
produksi, penyimpanan, pengemasan dan pengemasan kembali, distribusi dan
pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar serta digunakan di rumah
sakit secara keseluruhan. Apabila dalam sistem distribusi rumah sakit apoteker
berinteraksi dengan dokter, perawat dan penderita, maka distribusi obat yang
ada di dalam lingkup fungsi nonklinik ini menjadi fungsi farmasi klinik (Siregar,
2004)
D.
Manajemen Obat
Manajemen obat diinstalasi farmasi rumah sakit merupakan salah satu aspek
penting, karena ketidakefisiennya akan memberi dampak negatif terhadap biaya
operasional rumah sakit karena ketersediaan obat setiap saat menjadi tuntutan
pelayanan kesehatan, maka pengelolaan yang efesien sangat menentukan
keberhasilan manajemen obat di suatu rumah sakit secara keseluruhan. Tujuan
manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik mengenai
jenis, jumlah maupun kualitas secara efesien, dengan demikian manajemen obat
dapat dipakai sebagai proses penggerakan dan pemberdayaan semua sumber daya
yang dimiliki/potensial yang untuk dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan
ketersediaan obat setiap saat dibutuhkan untuk operasional efektif dan efesien (Direktorat
Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Ketidakcukupan obat-obatan disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu
faktor yang sangat menentukan adalah faktor perencanaan/perhitungan perkiraan
kebutuhan obat yang belum tepat, belum efektif dan kurang efisien.
Permintaan/pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat juga merupakan suatu
aspek penting dimana permintaan dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan obat
yang ada agar tidak terjadi suatu kelebihan atau kekurangan obat di instalasi
farmasi rumah sakit. Kelebihan obat atau kekosongan obat tertentu dapat terjadi
karena manajemen obat yang tidak akurat dan pemakaian obat yang tidak rasional.
Agar hal-hal tersebut tidak terjadi maka manajemen obat di instalasi farmasi
rumah sakit perlu dilakukan sesuai yang ditetapkan dan diharapkan, dimana dalam
manajemen obat harus memperhatikan perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2010).
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum RSJD Surakarta
Sebelum
diintegrasikan kedalam binaan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Tengah seperti saat ini, Letak semula RS Jiwa Daerah Surakarta berada
di jantung Kota Solo yang beralamat (lokasi lama) di Jl. Bhayangkara No. 50
Surakarta. Pada awalnya rumah sakit ini didirikan pada tahun 1918 dan
diresmikan terpakai tanggal 17 Juli 1919 dengan nama Doorganghuisvoor
krankzinnigen dan dikenal pula dengan nama Rumah Sakit Jiwa MANGUNJAYAN
yang menempati areal seluas + 0,69 ha dengan kapasitas tampung sebanyak 216
tempat tidur (TT). Atas dasar kesepakatan bersama pada tahun 1986 dalam bentuk
Ruislag dengan Pemda Dati II Kodya Surakarta, kantor RS Jiwa Pusat Surakarta
akan di pergunakan sebagai kantor KONI Kodia Surakarta, maka dalam proses
pembangunan fisik lebih lanjut pada tanggal 3 Pebruari 1986 Rumah Sakit
Jiwa Surakarta menempati lokasi yang baru di tepian sungai Bengawan Solo,
tepatnya jalan Ki Hajar Dewantoro No. 80 Surakarta dengan luas area 10 ha lebih
dengan luas bangunan 10.067 m2. Berdasarkan UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka RS Jiwa Pusat Surakarta berubah
menjadi RS Jiwa Daerah Surakarta dibawah Pemda Provinsi Jawa Tengah. RS Jiwa Pusat Surakarta diserahkan dari Pemerintah Pusat
kepada kepada Pemerintah Daerah pada tahun 2001 berdasarkan SK Menteri
Kesehatan No. 1079/Menkes/SK/X/2001 tanggal 16 Oktober 2001.
Adapun penetapan RS Jiwa Pusat menjadi RS Jiwa Daerah Surakarta
berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah No. 440/09/2002 pada bulan Februari 2002.
Kemudian sejak tahun 2009 RS Jiwa Daerah Surakarta telah menjadi Badan Layanan
Umum Daerah (BLUD) Provinsi Jawa Tengah.Daerah RSJD Surakarta merupakan Rumah
Sakit khusus kelas A.
B.
Alur Sistem Pendistribusian Obat di RSJD Surakarta
Alur sistem distribusi obat yang ada di RSJD Surakarta
adalah dari RS melakukan pengajuan ke bagian pengadaan RS, kemudian dari
pengadaan RS diserahkan kepada direktur, setelah disetujui direktur kemudian
diajukan ke pemerintah provinsi Jawa Tengah, karena setiap RS dibawah naungan
pemerintah provinsi Jawa Tengah
diberikan katalog yang berisi macam-macam obat dari suatu tender bernama
Guardian khusus untuk obat-obat generik. Katalog tersebut melingkupi 7 Rumah
Sakit dibawah naungan pemerintah provinsi Jawa
Tengah salah satunya yaitu RSJD
Surakarta. Pendistribusian obat Psikotropika di RSJ
terjadi dalam beberapa tahap sampai ke tangan pasien. awalnya Obat psikotropika
yang masuk dalam rumah sakit di terima oleh panitia penerima barang/obat, dan
di simpan pada gudang umum. Selanjutnya dari gudang umum obat
di distribusikan ke gudang Psikotropika Instalasi. Kemudian dari gudang
psikotropika, obat di distribusikan ke instalasi pelayanan (apotik). Instalasi
pelayanan selanjunya mendistribusikan obat psikotropika kepada pasien rawat
jalan, rawat inap dan UGD.
Pengelolaan
obat yang baik merupakan faktor utama dalam mendukung tingkat kesembuhan dari
suatu penyakit pasien, oleh karena itu pengelolaan obat yang baik harus
terlaksana di instalasi farmasi rumah sakit. Pengelolaan obat yang baik
terlebih khusus yaitu pengelolaan jenis obat yang bersifat sebagai psikoaktif
seperti pada obat – obat golongan psikotropika. Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1997 menyebutkan Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Menurut PERMENKES No 3 Tahun 2015 Salah satu
efek samping dari pemakaian obat psikotropika yaitu di mana seseorang dapat
mengalami ketergantungan berat terhadap obat jika digunakan secara tidak
rasional. Oleh karena itu pengelolaan obat psikotropika sangat memerlukan
penanganan dan perhatian lebih, khususnya pada sistem penyimpanan dan
distribusi agar dapat terjamin keamanan dan peredaran sediaan. Proses
penyimpanan obat psikotropika dilakukan dalam beberapa tahap yaitu obat yang
masuk di rumah sakit mulanya di tempatkan dalam gudang logistik atau gudang
umum, kemudian dari gudang umum obat di simpan dalam gudang psikotropika.
Selanjutnya dari gudang psikotropika, obat di tempatkan dalam instalasi
pelayanan (apotik). Kemudian dari instalasi pelayanan obat didistribusikan
kepada pasien rawat jalan, rawat inap dan Unit Gawat Darurat (UGD).
Berdasarkan SOP pendistribusian obat bertujuan untuk
memenuhi stok gudang psikotropika. Proses distribusi dilakukan dengan cara
penanggung jawab gudang psikotropika membuat daftar permintaan barang sesuai
dengan nama, dosis dan jumlah obat, yang telah ditandatangani oleh kepala
Instalasi Farmasi, penanggung jawab gudang psikotropika, dan mengetahui atau
ditandatangani oleh Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan juga kepala
Bidang Penunjang Medis. Lembar daftar permintaan barang kemudian di serahkan
kepada bendahara/pengurus barang gudang umum. Bendahara/pengurus barang
kemudian memverifikasi daftar permintaan barang dan di cek sesuai stok yang
tersedia pada gudang umum, selanjutnya obat disiapkan sesuai nama, dosis,
jumlah, dan bersama-sama dengan penanggung jawab gudang psikotropika melakukan
pengecekan sebelum serah terima.
Dalam rumah
sakit jiwa menangani gangguan jiwa, gangguan jiwa terdiri atas dua
kategori, yakni gangguan jiwa berat dan gangguan jiwa ringan. Biasanya bagi
penderita gangguan jiwa ringan, pihak rumah sakit tidak akan melakukan
perawatan di RSJ, melainkan cukup rawat jalan. Sedangkan gangguan jiwa berat
wajib untuk dirawat di RSJ. Sesuai dengan prosedur yang ada di RSJ, pasien yang
dibawa keluarganya untuk menjalani perawatan, akan dibawa terlebih dahulu ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD) selama kurang lebih 24 jam, setelah itu pasien
akan dibawa ke ruang UPIP (Unit Pemeriksaan Intensif Psikiatif) selama 14 hari
untuk mejalani observasi kejiwaan. Setelah tenang, pasien baru ditempatkan di
ruang rawat inap. Bagi pasien yang benar-benar sudah tenang dan tidak terlihat
gejala akan ngamuk dan prilakunya sudah tenang, pasien tersebut diperkenankan
untuk pulang ke rumah, dengan kurun waktu perawatan di RSJ selama 32 hari.
Ketika pulang, pasien wajib untuk menjalani rawat jalan dengan kurun waktu
setiap 1 minggu, 2 minggu dan setiap sebulan sekali hingga seterusnya. Pasien
juga diwajibkan untuk mengkonsumsi obat, agar tidak menyebabkan kambuh.
Rata-rata yang sudah boleh pulang dan kembali kambuh lagi, itu karena tidak
rutin kontrol ke RSJ dan tidak mengonsumsi obat lagi, padahal itu sangat
penting untuk menghindari kekambuhan, seperti ngamuk maupun melakukan tindakan
berbahaya lainnya.
Obat yang diberikan kepada pasien untuk dikonsumsi setiap
hari meliputi, obat antistres, antidepresi, anticemas, mood stabilizer,
antigangguan emosi, obat tidur, antiobsesi kompulsit, vitamin otak dan obat
lainnya. Pasien gangguan jiwa pun tidak mengenal kata sembuh, melainkan pulih,
artinya setiap orang yang telah dinyatakan mengalami gangguan jiwa hanya dapat
pulih dari gejala awalnya pasien tersebut dinyatakan alami gangguan jiwa.
Metode non pengobatan untuk memulihkan pasien gangguan jiwa, diantaranya dengan
melakukan konsultasi, bimbingan psikoterapi, bimbingan keluarga, bimbingan
dukungan sosial dan terapi kerja. Dalam metode ini, sangat ditekankan kepada
bimbingan keluarga, selain melakukan bimbingan terhadap pasien, keluarga pasien
juga turut dibimbing, karena banyak keluarga yang menolak untuk membawa pasien
pulang untuk dirawat di rumah, karena merasa takut dan malu. pasien kontrol rutin setiap bulan itu tujuannya
adalah untuk mengevaluasi bagaimana perkembangannya. Obat yang akan diresepken
juga sesuai pemeriksaan dokter pada saat kontrol itu. Sehingga kalau kontrol ke
RSJ itu tidak hanya sekedar mengambil obat saja, tapi juga akan dilakukan
pemeriksaan lanjutan terhadap si pasien. Maka dari itu RSJD Surakarta menetapkan kebijakan bahwa setiap
kontrol pasien harus diajak. Ini tidak bermaksud mempersulit keluarga tapi demi
kebaikan pasien agar perkembangan kesehatannya dapat lebih terpantau.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam pelaksanaan distribusi obat di rumah
sakit secara nasional sudah diatur dalam peraturan menteri
kesehatan republik indonesia nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di rumah sakit, peraturan tersebut bermaksud untuk menciptakan
pengawasan dan pengontrolan secara intensif dalam pengadaaan kefarmasian di
lingkungan rumah sakit dan khususnya rumah sakit jiwa daerah Surakarta. Dalam
pendistribusian kefarmasian di ruang lingkup rumah sakit jiwa daerah Surakarta yaitu Proses distribusi tersebut dilakukan dengan cara penanggung
jawab gudang psikotropika membuat daftar permintaan barang sesuai dengan nama,
dosis dan jumlah obat, yang telah ditandatangani oleh kepala Instalasi Farmasi,
penanggung jawab gudang psikotropika, dan mengetahui atau ditandatangani oleh
Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan juga kepala Bidang Penunjang
Medis. Lembar daftar permintaan barang kemudian di serahkan kepada
bendahara/pengurus barang gudang umum. Bendahara/pengurus barang kemudian
memverifikasi daftar permintaan barang dan di cek sesuai stok yang tersedia
pada gudang umum, selanjutnya obat disiapkan sesuai nama, dosis, jumlah, dan
bersama-sama dengan penanggung jawab gudang psikotropika melakukan pengecekan
sebelum serah terima.
B.
Saran
1.
Instalasi Farmasi
Mengembangkan
suatu pelayanan farmasi
yang luas dan
terkoordinasi dengan baik
dan tepat untuk memenuhi kebutuhan
berbagai bagian/unit diagnosis
dan terapi, unit
pelayanan keperawatan, staf medik
dan rumah sakit
keseluruhan untuk kepentingan
pelayanan penderita yang lebih baik.
2.
Rumah Sakit
Mengembangkan keperluan
untuk pemeliharaan dan
pemulihan kesehatan serta
memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Siregar. 2004. Farmasi Rumah Sakit
Teori dan Penerapan. Cetakan I, Jakarta: Penerbit EGC
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2010. Materi
Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten / Kota. Jakarta:Kementerian
kesehatan RI.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah
sakit
Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit
Undang Nomor 5 Tahun 1997 menyebutkan Psikotropika adalah
zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
PERMENKES
Nomor
3 Tahun 2015 tentang Salah
satu efek samping dari pemakaian
obat psikotropika
Komentar
Posting Komentar