PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK MELALUI MEDIASI OLEH MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI) UNTUK DAPAT MENJAMIN KEADILAN DALAM HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN
Abstract
Tulisan
ini membahas penyelesaian sengketa medik melalui mediasi oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk Dapat Menjamin Keadilan
Dalam Hubungan Dokter dan Pasien. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) selama ini dianggap sebagai lembaga mediasi yang bisa
menyelesaikan sengketa medik, tugas MKDKI sendiri adalah menindak terjadinya praktik kedokteran yang tidak
memenuhi standart yang ditentukan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum
preskriptif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan
konseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi pustaka.
Teknik analisa bahan hukum yang digunakan adalah metode deduksi. Hasil penelitian
ini menunjukkan peraturan perundang-undangan menjelaskan MKDKI bukan lembaga
mediasi yang bisa menyelesaikan sengketa medis, justru hasil tugasnya yang
mengawasi praktik kedokteran menjadi
bahan untuk dilakukannya penyelesaian sengketa medik secara mediasi yang memberikan
sebanyak-banyaknya keadilan kepada kedua belah pihak dan tidak ada kepentingan
manapun didalamnya. Kepada para pihak bersepakatlah untuk memilih seorang
mediator yang bersifat netral agar tercapainya hubungan dokter dan pasien yang
saling dinamis.
Kata
kunci: Penyelesaian Sengketa Medik; Mediasi; Keadilan.
A.
Pendahuluan
Dalam
amandemen Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H tercantum “setiap orang
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan”.
Hak untuk sehat oleh banyak orang sering ditafsirkan sebatas hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan medik/ kuratif. Pelayanan
kesehatan kuratif hanya sebagian kecil dari hak untuk sehat karena sehat bukan
hanya “tersembuhkan dari penyakit” tetapi meliputi hal yang jauh lebih luas. Pelayanan kesehatan lainnya
meliputi promotif, preventif dan rehabilitatif. Banyak faktor yang ikut
berperan terhadap kesehatan seseorang, antara lain pendidikan, perlindungan terhadap penyakit
menular, tersedianya lingkungan (baik fisik maupun sosial) yang sehat, air
bersih (safe water), makanan bergizi seimbang, dan rumah (shelter)
yang sehat (Kartono Muhammad, 2003:151).
Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 434/Men.Kes/IX/1983
tentang berlakunya kode etik kedokteran Indonesia, penangagunjawab pelayanan
kesehatan adalah dokter sesuai dengan
kompentensinya. Hubungan antara dokter dan pasien yang semula bersifat
paternalistik, seiring dengan perkembangan teknologi berubah dengan pola
hubungan yang sama dimana dokter tidak berada pada strata hak dan kewajiban
yang lebih tinggi dari pada pasiennya. Dokter dan pasien adalah persona dengan
harkat dan martabat yang sama, keduanya merupakan para pihak yang sepakat
melakukan hubungan hukum berupa kontrak terapeutik.
Terapeutik
adalah terjemahan dari therapeutic yang artinya ilmu pemeriksaan dan
pengobatan. Kontrak terapeutik merupakan perjanjian yang dibuat atas dasar
persetujuan, mencakup bidang diagnostic, preventif, rehabilitatif maupun
promotif (Jusuf Hanifah, 2008: 43).
Kecelakaan
medis dapat terjadi karena malpraktik medik ataupun adanya suatu risiko medis.
Malpraktik terjadi karena kesalahan atau
kelalaian dokter dalam
melakukan tindakan medik dan dokter tidak melaksanakan
profesinya sesuai standar
pelayanan medis. Pada risiko medis, dokter sudah melaksanakan pelayanan
medis sesuai standar tetapi terjadi risiko pada pelayanan medis, seperti adanya
efek samping suatu obat atau
adanya reaksi hipersensitif terhadap obat tertentu (Trini Handayani,
2009: 105).
Sengketa
dalam konteks hukum tercipta karena pertentangan rasa keadilan dan kepastian
hukum. Terdapat 3 (tiga) nilai yang
harus ada sebagai isi hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Yovita
A Mangesti, 2016: 13). Sengketa medis lebih berhubungan antara dokter dan
pasien yang mana keduanya sama-sama membuat hubungan hukum, jika terjadi
sengketa medis didahulukan penyelesaiannya dengan cara mediasi yang berdasarkan
Pasal 29 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Selama
ini ada anggapan sementara, bahwa mediasi dapat menciptakan keadilan tanpa
menitik beratkan pada suatu pihak manapun. Mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi)
lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak
bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan (Syahrizal Abbas, 2009: 3).
Selain
itu, mediasi non-litigasi bisa juga dilakukan oleh MKDKI (Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia) sebagai lembaga yang menjaga marwah kehormatan
Dokter/Dokter gigi dalam menjalankan disiplin keilmuan Kedokteran. Oleh karena
itu, MKDKI merupakan badan yang ditunjuk oleh KKI untuk menangani kasus-kasus
dugaan pelanggaran disiplin Kedokteran atau Kedokteran gigi dan menetapkan
sanksi dimana penyelesaian dilakukan secara mediasi. Surat
Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No. B006/R-3/I/1982 Jaksa
Agung, tanggal 19 Oktober 1982 tentang
“Perkara Profesi Kedokteran”
menyatakan bahwa agar tidak meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan
pejabat Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Demikian pula dalam putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu
melalui peradilan profesi.
Mediator
yang selama ini memediasi sengketa medik pada kenyataannya yang dilakukan
umumnya sering menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan Dokter sedangkan
kalangan Pasien sering merasa tidak dapat terwakili jika penyelesaian sengketa
dilakukan melalui badan milik profesi Kedokteran Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia ataupun Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (Lalu M. Guntur
Payasan WP, 2011: 5).
Berdasarkan paparan tersebut, penulis bermaksud membahas mengenai
penyelesaian sengketa medik melalui mediasi oleh Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI).
B.
Metode
Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian
hukum. Hal ini berdasarkan pendapat Peter Mahmud Marzuki bahwa tidak perlu
istilah penelitian hukum normatif, karena legal research atau bahasa belanda
rechtsonderzoek selalu normatif. Sama halnya dengan istilah yuridis normatif
yang sebenarnya tidak dikenal dalam penelitian hukum. Dengan pernyataan
demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif. Hanya saja
pendekatan dan bahan hukum yang digunakan harus dikemukakan (Peter Mahmud
Marzuki, 2004: 55-56).
Sifat penelitian adalah preskriptif,
sehingga didalam penelitian hukum tidak diperlukan adanya hipotesis, di dalam
penelitian hukum juga tidak dikenal data (Peter Mahmud Marzuki, 2004:
59-60).
Pendekatan yang digunakan peneliti dalam
penulisan hukum ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case study), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).
Teknik analisa bahan hukum yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode deduksi. Metode deduksi
berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua
premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud
Marzuki, 2004: 89).
C.
Hasil
Penelitian dan Pembahasan
1. Sengketa
dalam Pelayanan Kesehatan
Ada dua jenis hubungan hukum antara
pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan, yaitu hubungan karena terjadinya
kontrak terapeutik dan hubungan karena adanya peraturan-perundangan. Dalam
hubungan yang pertama, diawali dengan perjanjian (tidak tertulis) sehingga
kehendak kedua belah pihak diasumsikan terakomodasi pada saat kesepakatan tercapai.
Kesepakatan yang dicapai antara lain berupa persetujuan tindakan medis atau
malah penolakan pada sebuah rencana tindakan medis. Hubungan karena
peraturan-perundangan biasanya muncul karena kewajiban yang dibebankan kepada
dokter karena profesinya tanpa perlu dimintakan persetujuan pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien
merupakan transaksi terapeutik yang mana perjanjiannya berdasarkan upaya
maksimal untuk menyembuhkan pasien, hubungan tersebut dinamakan inspaningverbintenis
yang tidak dilihat dari hasilnya tetapi lebih ditekankan pada upaya yang
dilakukan (Isharyanto, 2016;104).
Dasar adanya kewajiban dokter adalah
adanya hubungan kontraktual profesional antara tenaga medis dengan pasiennya,
yang menimbulkan kewajiban umum dan kewajiban profesional bagi tenaga medis
tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, aturan etik
profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional.
Seperti diketahui untuk dapat memperoleh
kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki suatu kompetensi
tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan
kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan kedokterannya.
Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat terendah dan bukan pula tingkat tertinggi
dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan kompetensi yang rata-rata
(reasonable competence) dalam populasi dokter.
Banyak ahli berpandangan bahwa hubungan
pelayanan kesehatan adalah hubungan atas dasar kepercayaan. Pasien percaya
terhadap kemampuan dokter untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan
penyakit yang dideritanya. Pasien juga percaya bahwa dokter akan berupaya
semaksimal mungkin selain menyembuhkan penyakitnya juga akan mengurangi
penderitaannya. Besarnya kepercayaan yang terbangun dalam pandangan publik
inilah yang seringkali berbuah kekecewaan ketika harapan tidak terwujud, dan
inilah jalan melahirkan konflik atau sengketa. Biasanya pemicunya adalah ketika
kekecewaan tersebut tidak di sertai komunikasi yang efektif. Jadi sekali lagi
komunikasi adalah kata kunci dalam sebab-musabab sebuah konflik atau sengketa.
Sengketa medik sering kali timbul akibat
hasil yang kurang memuaskan dari pihak pelayanan medik, kaitannya dalam
kurangnya mendapatkan informasi dari dokter, ataupun kelalian yang timbul
akibat tenaga medis sendiri (Trini Handayani, Jurnal Mimbar Justicia: Edisi
Juli-Desember 2014).
Secara hukum hubungan antara dokter dan
pasien berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Hubungan ini adalah
hubungan pelayanan kesehatan, ahli lain menyebutnya sebagai hubungan
medik. Dalam hubungan demikian
superioritas dokter terhadap pasien sangat dominan, yaitu dokter aktif
menemukan sign and symphtom, membuat asosiasi dan mengambil keputusan.
Dalam paradigma lama, pasien selalu pasrah, diam dan ditentukan. Dari
sisipandang hukum pribadi, hubungan ini tampak berat sebelah, tidak sempurna,
dan potensial melahirkan masalah.
Dahulu bila ada masalah atau terjadi perbedaan pandangan antara pasien/keluarga pasien
dengan dokter atau rumah sakit, dokter cenderung menyalahkan pasien atau dokter
hampir selaluberada dalam posisi yang benar. Dalam berbagai teori hal ini
disebut sebagai hubungan paternalistik, namun para ahli hukum kesehatan merobah
konsep ini dengan paradigma baru yang menggambarkan hubungan yang equal antara
dokter dan pasien. Dalam konsep ini pasien memiliki hak untuk menerima atau
menolak apa yang dilakukan oleh dokter/ rumah sakit atas dirinya, juga pasien
berhak atas informasi yang lengkap, luas dan benar tentang penyakit yang
dideritanya, rencana-rencana dokter yang akan dilakukan, resiko-resiko yang
akan dihadapi bahkan juga perbandingan dengan metode atau bentuk tindakan medis
yang lain.
Sengketa Medik adalah sengketa yang
terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara
pasien dengan rumah sakit / fasilitas kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan
adalah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan dengan tidak memperhatikan
atau mengabaikan prosesnya. Padahal dalam hukum kesehatan diakui bahwa tenaga
kesehatan atau pelaksana pelayanan kesehatan saat memberikan pelayanan hanya
bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan (Inspanning
Verbintennis) dan tidak menjamin/ menggaransi hasil akhir (Resultalte
Verbintennis). Biasanya pengaduan dilakukan oleh pasien atau keluarga
pasien ke instansi kepolisian dan juga ke media massa. Akibatnya sudah dapat
diduga pers menghukum tenaga kesehatan mendahului pengadilan dan menjadikan
tenaga kesehatan sebagai bulan-bulanan, yang tidak jarang merusak reputasi nama
dan juga karir tenaga kesehatan ini. Sementara itu pengaduan ke kepolisian baik
di tingkat Polsek, Polres maupun Polda diterima dan diproses seperti layaknya
sebuah perkara pidana. Menggeser kasus perdata ke ranah pidana, penggunaan pasal
yang tidak konsisten, kesulitan dalam pembuktian fakta hukum serta keterbatasan
pemahaman terhadap seluk beluk medis oleh para penegakhukum di hampir setiap
tingkatan menjadikan sengketa medik terancam terjadinya disparitas pidana.
Sengketa yang terjadi antara dokter
dengan pasien biasanya disebabkan oleh kurangnya informasi dari dokter, padahal
informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan medis yang
dilakukan oleh dokter merupakan hak pasien, hal tersebut terjadi karena
polapaternalistik yang masih melekat dalam hubungan tersebut. Upaya
penyelesaian sengketa melalui peradilan umum yang selama ini ditempuh tidak
dapat memuaskan pihak pasien, karena putusan hakim dianggap tidak memenuhi rasa
keadilan pihak pasien. Hal ini disebabkan sulitnya pasien atau Jaksa Penuntut
Umum maupun Hakim untuk membuktikan adanya kesalahan dokter. Kesulitan
pembuktian dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai
permasalahan-permasalahan tehnis sekitar pelayanan medik.
Seharusnya penyelesaian
sengketa ini dilakukan
secara berjenjang, mengingat
profesi tenaga kesehatan atau
lembaga yang menaunginya
ini rentan terhadap
pembunuhan karakter oleh
media massa atau rentan terhadap pemerasan oleh oknum yang tak
bertanggungjawab. Pada tataran pertama,
bila gejala sengketa
terbuka mulai muncul surat
ketidakpuasan hanya
ditujukan ke pihak
RS, sebaikanya pihak rumah sakit
melalui bagian humas segera melakukan
pendeketan guna menjawab atau klarifikasi terhadap permasalahan yang ada sehingga pihak pengadu/pelapor
merasa puas dan terselesaikan permasalahannya.
Pada tataran kedua, bila sengketa
telah meluas (laporan
ketidakpuasan pelayanan ditujukan
ke RS dan
ditembuskan ke LSM/LPK/Ombudsman)
dan melibatkan pihak ke‐3
(kuasa hukum/LSM/masyarakat) maka diperlukan adanya mediator yang dianggap
netral untuk membantu penyelesaian sengketanya. Pada tataran ke tiga, jika laporan
sengketa kesehatan sudah meluas
pada lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) maka mutlak
mediator bersertifikat menjadi sangat
diperlukan bila pendekatan penyelesaian sengketa secara tertutup masih di
inginkan oleh pihak Rumah Sakit/ lembaga pemberi layanan kesehatan/tenaga
kesehatan. Bila proses mediasi gagal maka penyelesaian sengketa akan
dilanjutkan melalui proses persidangan di pengadilan (Suryono, 2012; 4).
2. Penyelesaian
Sengketa Medik Melalui Mediasi yang Menjamin Keadilan Antara Dokter dan Pasien.
Secara filosofis penyelesaian sengketa
merupakan upaya untuk mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa
dalam keadaan seperti semula,
dengan pengembalian hubungan tersebut maka mereka dapat mengadakan
hubungan baik sosial maupun
hubungan hukum antara satu dengan
lainnya.
Penyelesaian adalah proses perbuatan cara
menyelesaikan. Menyelesaikan
diartikan sebagai menyudahkan ,
menjadikan berakhir, membereskan
atau memutuskan, mengatur memperdamaikan (perselisihan atau
pertengkaran) atau mengatur suatu sehingga menjadi baik (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1989; 801).
Sedangkan istilah
sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris dispute
atau geding dalam bahasa Belanda. Dean G pruit menyatakan
sengketa adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence
of interest) atau suatu kepercayaan
bahwa aspirasi pihak-pihak yang bersengketa
tidak dicapai secara simultan (secara serentak) (Dean G Pruit dan
Jeffrey Z Rubin, 2004: 9-10).
Dalam
pelayanan kesehatan yang diikuti
dengan adanya hubungan hukum antara
dokter dengan pasien seringkali diwarnai dengan pengabaian pada hak-hak pasien
sehingga menimbulkan konflik atau
sengketa, Nader dan Tood dalam Adi Sulistiono secara eksplisit
membedakan antara : (i) Pra konflik
adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang
karena diperlakukan tidak adil. (ii) Konflik adalah keadaan dimana para pihak
menyadari atau mengetahui tentang adanya perselisihan pendapat diantara mereka.
(iii) Sengketa adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan dimuka umum atau
dengan melibatkan pihak ketiga (Adi
Sulistiono, 2008; 1-2).
Pemicu
terjadinya sengketa adalah kesalah pahaman, perbedaan penafsiran, ketidak
jelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang
tidak patut, curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan
dan terjadinya keadaan yang tidak terduga. Apabila dikaitkan dengan hubungan dokter
dan pasien maka sengketa medis berawal dari adanya perasaan tidak
puas dari salah satu pihak karena
adanya pihak lain yang tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
diperjanjikan, atau ada wanprestasi.
Dimana wanprestasi ini dalam sengketa medis biasanya dilakukan oleh pihak
dokter. Hal-hal yang menyebabkan wanprestasi dalam sengketa medis diantaranya
adalah : (i) Tidak melakukan apa yang menurut
kesepakatan wajib dilakukan. (ii)
Melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan tetapi terlambat memenuhinya atau tidak tepat waktu. (iii) Melakukan
apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan tetapi tidak sempurna. (iv) Melakukan
apa yang menurut kesepakatan tidak
seharusnya dilakukan (Eddi Junaedi, 2011; 8).
Mediasi
adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah dimana pihak ketiga yang
tidak memihak (imparsial) bekerjasama
dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Adi Sulistiono
mendefinisikan Mediation is generally understood tobe a shorttrem,
structured, taks-oriented, participatory intervention process. Disputing parties
work with a neutral third party, the mediator, to reach
a mutually process, where athird party
inventervenor imposes adecision, no such compulsion exists in mediation
(Adi Sulistiono, 2008; 8).
Penyelesaian sengketa medik dengan
mediasi pada prinsip dasarnya akan dikemukakan oleh Fathillah Syukur adalah:
(i) prinsip kesukarelaan para pihak (voluntary principle), dimana mediasi adalah
metode yang mendasarkan diri
pada kesukarelaan para pihak
untuk urun rembug mencari
solusi untuk kepentingan bersama tanpa
paksaan, ancaman atau tekanan dari pihak manapun, (ii) prinsip penentuan
diri sendiri (self determination
principle), yaitu
terkait dengan prinsip kesukarelaan, (iii) prinsip kerahasiaan (confidentiality principle),
yaitu proses mediasi bersifat rahasia dimana semua informasi hanya boleh diketahui oleh parapihak dan mediator, (iv) prinsip
itikad baik (good
faith principle), yaitu
kemauan para pihak untuk menempuh
proses mediasi tidak boleh
mengulur waktu atau mengambil keuntungan bagi kepentingan sendiri, (v) prinsip
penentuan aturan main (ground rules principle), dengan dibantu mediator, para pihak harus
membuat menyepakati dan mematuhi aturan main sebelum
memulai proses mediasi agar bisa berjalan dengan konstruktif
dan mencapai hasil yang diinginkan, (vi) prinsip/prosedur pertemuan terpisah (private meetings principle /procedure), mediator dan
para pihak bisa
dan berhak mengadakan pertemuan
terpisah dengan salah satu pihak ketika mengadapi situasi tertentu, seperti perundingan mengalami
kebuntuan, meredakan emosi tinggi, dan sebab
terkait lainnya (Fatahillah A.
Syukur, 2012; 10-11).
Pada uraian diatas mediasi yang saat ini
dilaksanakan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
belum memberikan penuh kepercayaan pada kedua belah pihak, mengacu pada tugas
MKDKI sendiri sebenarnya mengawasi tindakan praktik kedokteran di Indonesia
yang praktiknya bersifat pelayanan kesehatan umum taupun perorangan. Artinya
MKDKI bertugas untuk mengawasi keilmuwan kedokteran dalam melakukan praktek
kedokteran di Indonesia.
Menurut penulis, yang ikut mengawasi
medis ada 3 bagian: (i) MKEK yaitu yang menangani etika kedokteran (ii) MKDKI
yaitu yang menangani disiplin kedokteran (iii) pengadilan yaitu yang menangani
sengketa. `akan tetapi jika terjadi kelailaian medis langkah awal
penyelesaiannya melalui mediasi, tertuang dalam pasal 29 Undang-Undang No.36
tahun Kesehatan yang menyebutkan “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi”.
Ada anggapan mediasi yang dilakukan
MKDKI membuat rasa yang kurang nyaman bagi pihak dokter karena takut dengan
kebijakan yang di keluarkan oleh MKDKI yang membuat reputasi praktik nya akan
surut, lalu pasien sendiri mempunyai anggapan bahwa MKDKI sebagai menjaga
marwah keprofesional kedokteran Indonesia akan memihak dokter yang bersengketa.
Karena pada dasarnya MKDKI bukanlah yang bertugas untuk memberikan pennyelesaian
sengketa medis dengan melakukan mediasi, tetapi lebih tepatnya putusan MKDKI
membuat bahan pertimbangan atas kelalaian atau resiko medis yang mungkin selama
ini menimbulkan sengketa medis.
Seorang mediator disini seharusnya
mempunyai hubungan netral terhadap para pihak, karena mediasi disini bertujuan
untuk mencari keadilan yang sebanyak-banyaknya terhadapa kedua belah pihak. Sengketa
medik adalah sengketa yang unik dan memerlukan keterampilan khusus bagi seorang mediator. Seorang
mediator yang telah
berpengalaman menangani mediasi bisnis
belum tentu dapat menjadi
mediator yang handal dalam sengketa medik. Seorang mediator dalam sengketa medik
tidaklah harus seorang
dokter atau seorang ahli hukum. Mediator yang tepat untuk menangani sengketa medis
haruslah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang medis dan tentang hukum. Tidak boleh hanya
memiliki pengetahuan tentang hukum saja atau medis saja. Sehingga akan mendapat
hasil mediasi yang bermanfaat dan berkeadilan antara kedua belah pihak yang
bersengketa medik.
D.
Simpulan
Hubungan dokter dan pasien
merupakan hubungan yang spesial, terbentuk dari sebuah kepercayaan yang
menimbulkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak. Upaya pelayanan kesehatan
memiliki perjanjian yaitu perjanjian upaya (inspaning verbintenis) bukan
perjanjian pada hasil (resultat verbintenis). Salah satu sering
terjadinya sengketa medis berawal dari upaya pelayanan kesehatan yang kurang
memuaskan hasilnya bagi pasien, tetapi tidak semua sengketa medis ini bersifat
negatif sehingga penyelesaiannya harus diselesaikan dengan baik untuk menuju
penyelesaian yang baik. Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
menyebutkan tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi.
Sengketa medis yang sering terjadi
selama ini antara dokter dengan pasien, keduanya adalah subjek hukum yang
menimbulkan hubungan hukum dalam upaya pelayanan kesehatan. Penyelesaian
sengketa medis disini lebih dianjurkan melalui mediasi yang mana awal hubungan
ini adalah saling kepercayaan dan bukan mediasi ini bukan dilaksanakan oleh
MKDKI karena tugas MKDKI sendiri adalah mengawasi disiplin kedokteran, justru
putusan MKDKI bisa menjadi dasar untuk bahan mediasi yang mungkin bisa menjadi
tolak ukur dalam penyelesaian sengketa medis. Dalam menyelesaikan sengketa
medis dengan melalui mediasi untuk mendapatkan tujuan yang di harapkan kedua
belah pihak. mediator haruslah bersifat imparsial yang mana mementingkan kedua belah
pihak untuk mencapai mufakat yang dinamis dan berkeadilan.
E.
Saran
Kepada
pemberi pelayanan kesehatan seyogyanya memberikan informasi yang sejelas-jelasnya
atau seluas-luasnya tentang tindakan dan resiko yang akan di terima oleh
pasien, bahkan perlu memberikan wawasan perbandingan tindakan medis yang
mungkin menjadi akan menjadi pilihan yang akan disetujui atas penerimaan
tindakan medis itu sendiri. Dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang
Kesehatan pasal 59.
Kepada
pihak yang merasa dirugikan atas tindakan medis haruslah lebih mengerti posisi
sengketa yang akan dilaporkannya, jikan ingin menyelesaikan sengketa medis
lebih baik berikan kepada pihak yang berwenang yang sama sama disepakati oleh
para pihak, dan lebih disarankan dalam penyelesaiannya diutamakan melalui jalur
mediasi, karena pada awalnya hubungan dokter dan pasien adalah hubungan yang
saling mempercayai, maka menyelesaikan sengeketanya lebih mengutamakan untuk
memperbaiki hubungan antara kedua belah pihak.
F.
Daftar
Pustaka
Adi Sulistiyono. 2008. Mengembangkan Paradigma
Non-Litigasi Di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Antonius
Sudirman. 2003. “Merelevansi Hukum dengan Perubahan Sosial”. Jurnal Kopertis
Wilayah IX. Prospek No.27 September. Sulawesi.
Brian
Amy Prastyo. 2013. “Prinsip Keadilan Sosial Sebagai Hukum The Principle Of
Social Justice as The Law”. Jurnal IU. Vol 1 No.3. Mataram: Fakultas
Hukum Universitas Mataram.
Dean
G Pruit dan Jeffrey Z Rubin. 2004. Konflik
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. 1989 “Kamus
Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta:
Balai Pustaka.
Eddi Junaedi. 2011. Mediasi Dalam Penyelesaian
Sengketa Medik. Jakarta: Raja Grafindo.
Fatahillah A.
Syukur. 2012. Mediasi
Yudisial Di Indonesia: Peluang dan Tantangan
Dalam Memajukan Sistim Peradilan. Bandung: Mandar Maju.
I Made
Sukadana. 2012. Mediasi Peradilan Mediasi Dalam Sistim
Peradilan Perdata Indonesia Dalam
Rangka Mewujudkan Proses
Peradilan Yang Sederhana, Cepat, dan
Biaya Ringan. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Isharyanto. 2016. Hukum Pelayanan
Kesehatan. Depok: Herya Media.
Peter
Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Suryono.
2012. “Best Practice dalam Penyelesaian
Sengketa Kesehatan”. Makalah Dewan Pembina Ikatan Mediator Kesehatan
Indonesia dalam Presentasi di Pusat Mediasi Indonesia.
Trini
Handayani. 2009. “Malpraktik dan Risiko Medis”. Jurnal Hukum Mimbar Justicia.
Volume V No 03 Edisi Februari-Mei. Cianjur: Fakultas Hukum Universitas
Suryakancana.
Trini
Handayani. 2014. “Penyelesaian Sengketa Medis Melalui Mediasi Dihubungkan
Dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor I Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan”. Jurnal Hukum Mimbar Justicia. Vol. VI No. 02 Edisi
Juli-Desember. Cianjur: Fakultas Hukum Universitas Suryakancana.
Yovita
A Mangesti. 2016. Hukum Berparadigma Kemanusian. Yogyakarta: Genta
Publishing.
.
Sumber Hukum
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
Undang-Undang No.36 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
KUHPerdata
Komentar
Posting Komentar