Langsung ke konten utama

Distribusi obat-obatan di rumah sakit jiwa daerah Surakarta

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Salah  satu  upaya  kesehatan  yang  dilakukan  pemerintah  adalah  dengan meningkatkan  mutu  pelayanan  kesehatan  rumah  sakit  yang  antara  lain  dapat dicapai  dengan  penggunaan obat-obatan yang rasional  dan berorientasi  kepada pelayanan  pasien,  penyediaan  obat  yang  bermutu  dan  terjangkau  bagi  semua lapisan masyarakat (Siregar 2004). Biaya yang diserap untuk penggunaan obat merupakan komponen terbesar dari pengeluaran rumahsakit. Dibanyak Negara berkembang belanja obat di rumah sakit dadat menyerap sekitar 40-50% dari biaya keseluruhan rumah sakit. Belanja perbekalan farmasi yang demikian besar tentunay harus dikelola dengan efektif dan efisien, hal ini perlu dilakukan mengingat dana kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai dengan kebutuhan.
Kondisi diatas tentunya harus disikapi dengan baik-baik. Saat ini pada tataran global telah dirintis prongram Good Governance In Pharmaceutical Sector atau lebih di kenal dengan tata kelola obat yang baik si Sektor Farmasi. Indonesia termasuk salah satu Negara yang berpartisipasi dalam program ini bersama 19 negara lainnya. Pemikiran tentang perlunya tatkelola obat yang baik disektor farmasi berkembang mengingat banyaknya praktek illegal di lingkungan kefarmasian mulai dari clinical trial, riser dan pengadaan , registrasi, pendaftaran, paten, produksi, penetapan harga, pengadaan, seleksi, distribusi dan trasportasi. Bentuk intransparansi dibidang farmasi antara lain : pemalsuan data keamanan dan enyufikasi, penyuapan, kolosi, donasi, promo yang tidak etis maupun tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan obat.
Pengadaan kesediaan kefarmasian di rumah sakit telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Dalam Bab II Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan media habis pakai, kegiatan Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan media habis pakai meliputi; Pemilihan, Perencanaan kebutuhan, Pengadaan, Penerimaan, Penyimpanan, Pendistribusian, Pengendalian, dan Administrasi.
Dalam kegiatan pemilihan kesediaan kefarmasian yang masuk dalam ruang lingkup rumah sakit harus memenuhi peraturan yang telah ada. Maka dari itu penulis ingin meneliti tentang kegiatan pemilihan kesediaan kefarmasian yang masuk dalam ruang lingkup rumah sakit jiwa daerah Surakarta.
B.       Rumusan masalah
  Bagaimana pendistribusian obat-obatan di rumah sakit jiwa daerah Surakarta?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Pengertian Rumah Sakit
 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  44 tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuankesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
B.       Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, instalasi farmasi merupakan bagian dari rumah sakit yang harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit, seperti pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai yang dilakukan dengan cara sistem satu pintu. Adapun yang dimaksud dengan sistem satu pintu adalah rumah sakit hanya memiliki satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium pengadaan dan pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien. Instalasi farmasi rumah sakit adalah suatu departemen atau unit atau bagian di suatu rumah sakit dipimpin oleh seorang apoteker  yang memiliki tugas melaksanakan kegiatan kefarmasian, seperti mengawasi pembuatan obat, pengadaan obat, pendistribusian obat/perbekalan farmasi, berperan dalam program pendidikan dan penelitian, pembinaan kesehatan masyarakat melalui pemantauan keamanan, efektifitas, efisiensi biaya dan ketepatan penggunaan obat oleh pasien. Dengan demikian apoteker di rumah sakit dapat membantu tercapainya suatu pengobatan yang aman dan rasional yang berorientasi pada pasien dan bukan hanya berorientasi pada produk.
C.      Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut Siregar (2004), instalasi farmasi rumah sakit mempunyai fungsi  nonklinik dan fungsi klinik. Fungsi nonklinik adalah fungsi yang dilakukan tidak secara langsung, merupakan bagian terpadu yang berasal dari pelayanan penderita, menjadi tanggung jawab apoteker rumah sakit dan tidak memerlukan interaksi dengan profesional kesehatan lain, walaupun semua pelayanan farmasi harus disetujui oleh staf medik melalui panitia farmasi dan terapi. Adapun yang termasuk lingkup fungsi farmasi nonklinik adalah perencanaan, penetapan spesifikasi produk dan pemasok, pengadaan, pembelian, produksi, penyimpanan, pengemasan dan pengemasan kembali, distribusi dan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar serta digunakan di rumah sakit secara keseluruhan. Apabila dalam sistem distribusi rumah sakit apoteker berinteraksi dengan dokter, perawat dan penderita, maka distribusi obat yang ada di dalam lingkup fungsi nonklinik ini menjadi fungsi farmasi klinik (Siregar, 2004)
D.      Manajemen Obat
Manajemen obat diinstalasi farmasi rumah sakit merupakan salah satu aspek penting, karena ketidakefisiennya akan memberi dampak negatif terhadap biaya operasional rumah sakit karena ketersediaan obat setiap saat menjadi tuntutan pelayanan kesehatan, maka pengelolaan yang efesien sangat menentukan keberhasilan manajemen obat di suatu rumah sakit secara keseluruhan. Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara efesien, dengan demikian manajemen obat dapat dipakai sebagai proses penggerakan dan pemberdayaan semua sumber daya yang dimiliki/potensial yang untuk dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap saat dibutuhkan untuk operasional efektif dan efesien (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Ketidakcukupan obat-obatan disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat menentukan adalah faktor perencanaan/perhitungan perkiraan kebutuhan obat yang belum tepat, belum efektif dan kurang efisien. Permintaan/pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat juga merupakan suatu aspek penting dimana permintaan dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan obat yang ada agar tidak terjadi suatu kelebihan atau kekurangan obat di instalasi farmasi rumah sakit. Kelebihan obat atau kekosongan obat tertentu dapat terjadi karena manajemen obat yang tidak akurat dan pemakaian obat yang tidak rasional. Agar hal-hal tersebut tidak terjadi maka manajemen obat di instalasi farmasi rumah sakit perlu dilakukan sesuai yang ditetapkan dan diharapkan, dimana dalam manajemen obat harus memperhatikan perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).








BAB III
PEMBAHASAN

A.    Gambaran Umum RSJD Surakarta
Sebelum diintegrasikan kedalam binaan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah seperti saat ini, Letak semula RS Jiwa Daerah Surakarta berada di jantung Kota Solo yang beralamat (lokasi lama) di Jl. Bhayangkara No. 50 Surakarta. Pada awalnya rumah sakit ini didirikan pada tahun 1918 dan diresmikan terpakai tanggal 17 Juli 1919 dengan nama Doorganghuisvoor krankzinnigen dan dikenal pula dengan nama Rumah Sakit Jiwa MANGUNJAYAN yang menempati areal seluas + 0,69 ha dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur (TT). Atas dasar kesepakatan bersama pada tahun 1986 dalam bentuk Ruislag dengan Pemda Dati II Kodya Surakarta, kantor RS Jiwa Pusat Surakarta akan di pergunakan sebagai kantor KONI Kodia Surakarta, maka dalam proses pembangunan fisik lebih lanjut pada tanggal 3 Pebruari 1986 Rumah Sakit Jiwa Surakarta menempati lokasi yang baru di tepian sungai Bengawan Solo, tepatnya jalan Ki Hajar Dewantoro No. 80 Surakarta dengan luas area 10 ha lebih dengan luas bangunan 10.067 m2. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka RS Jiwa Pusat Surakarta berubah menjadi RS Jiwa Daerah Surakarta dibawah Pemda Provinsi Jawa Tengah. RS Jiwa Pusat Surakarta diserahkan dari Pemerintah Pusat kepada kepada Pemerintah Daerah pada tahun 2001 berdasarkan SK Menteri Kesehatan No. 1079/Menkes/SK/X/2001 tanggal 16 Oktober 2001. Adapun penetapan RS Jiwa Pusat menjadi RS Jiwa Daerah Surakarta berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah No. 440/09/2002 pada bulan Februari 2002. Kemudian sejak tahun 2009 RS Jiwa Daerah Surakarta telah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Provinsi Jawa Tengah.Daerah RSJD Surakarta merupakan Rumah Sakit khusus kelas A.

B.       Alur Sistem Pendistribusian Obat di RSJD Surakarta
Alur sistem distribusi obat yang ada di RSJD Surakarta adalah dari RS melakukan pengajuan ke bagian pengadaan RS, kemudian dari pengadaan RS diserahkan kepada direktur, setelah disetujui direktur kemudian diajukan ke pemerintah provinsi Jawa Tengah, karena setiap RS dibawah naungan pemerintah provinsi Jawa Tengah  diberikan katalog yang berisi macam-macam obat dari suatu tender bernama Guardian khusus untuk obat-obat generik. Katalog tersebut melingkupi 7 Rumah Sakit dibawah naungan pemerintah provinsi Jawa Tengah salah satunya yaitu RSJD Surakarta. Pendistribusian obat Psikotropika di RSJ terjadi dalam beberapa tahap sampai ke tangan pasien. awalnya Obat psikotropika yang masuk dalam rumah sakit di terima oleh panitia penerima barang/obat, dan di simpan pada gudang umum. Selanjutnya dari gudang umum obat di distribusikan ke gudang Psikotropika Instalasi. Kemudian dari gudang psikotropika, obat di distribusikan ke instalasi pelayanan (apotik). Instalasi pelayanan selanjunya mendistribusikan obat psikotropika kepada pasien rawat jalan, rawat inap dan UGD.
Pengelolaan obat yang baik merupakan faktor utama dalam mendukung tingkat kesembuhan dari suatu penyakit pasien, oleh karena itu pengelolaan obat yang baik harus terlaksana di instalasi farmasi rumah sakit. Pengelolaan obat yang baik terlebih khusus yaitu pengelolaan jenis obat yang bersifat sebagai psikoaktif seperti pada obat – obat golongan psikotropika. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1997 menyebutkan Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Menurut PERMENKES No 3 Tahun 2015 Salah satu efek samping dari pemakaian obat psikotropika yaitu di mana seseorang dapat mengalami ketergantungan berat terhadap obat jika digunakan secara tidak rasional. Oleh karena itu pengelolaan obat psikotropika sangat memerlukan penanganan dan perhatian lebih, khususnya pada sistem penyimpanan dan distribusi agar dapat terjamin keamanan dan peredaran sediaan. Proses penyimpanan obat psikotropika dilakukan dalam beberapa tahap yaitu obat yang masuk di rumah sakit mulanya di tempatkan dalam gudang logistik atau gudang umum, kemudian dari gudang umum obat di simpan dalam gudang psikotropika. Selanjutnya dari gudang psikotropika, obat di tempatkan dalam instalasi pelayanan (apotik). Kemudian dari instalasi pelayanan obat didistribusikan kepada pasien rawat jalan, rawat inap dan Unit Gawat Darurat (UGD).
Berdasarkan SOP pendistribusian obat bertujuan untuk memenuhi stok gudang psikotropika. Proses distribusi dilakukan dengan cara penanggung jawab gudang psikotropika membuat daftar permintaan barang sesuai dengan nama, dosis dan jumlah obat, yang telah ditandatangani oleh kepala Instalasi Farmasi, penanggung jawab gudang psikotropika, dan mengetahui atau ditandatangani oleh Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan juga kepala Bidang Penunjang Medis. Lembar daftar permintaan barang kemudian di serahkan kepada bendahara/pengurus barang gudang umum. Bendahara/pengurus barang kemudian memverifikasi daftar permintaan barang dan di cek sesuai stok yang tersedia pada gudang umum, selanjutnya obat disiapkan sesuai nama, dosis, jumlah, dan bersama-sama dengan penanggung jawab gudang psikotropika melakukan pengecekan sebelum serah terima.
Dalam rumah sakit jiwa menangani gangguan jiwa, gangguan jiwa terdiri atas dua kategori, yakni gangguan jiwa berat dan gangguan jiwa ringan. Biasanya bagi penderita gangguan jiwa ringan, pihak rumah sakit tidak akan melakukan perawatan di RSJ, melainkan cukup rawat jalan. Sedangkan gangguan jiwa berat wajib untuk dirawat di RSJ. Sesuai dengan prosedur yang ada di RSJ, pasien yang dibawa keluarganya untuk menjalani perawatan, akan dibawa terlebih dahulu ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) selama kurang lebih 24 jam, setelah itu pasien akan dibawa ke ruang UPIP (Unit Pemeriksaan Intensif Psikiatif) selama 14 hari untuk mejalani observasi kejiwaan. Setelah tenang, pasien baru ditempatkan di ruang rawat inap. Bagi pasien yang benar-benar sudah tenang dan tidak terlihat gejala akan ngamuk dan prilakunya sudah tenang, pasien tersebut diperkenankan untuk pulang ke rumah, dengan kurun waktu perawatan di RSJ selama 32 hari. Ketika pulang, pasien wajib untuk menjalani rawat jalan dengan kurun waktu setiap 1 minggu, 2 minggu dan setiap sebulan sekali hingga seterusnya. Pasien juga diwajibkan untuk mengkonsumsi obat, agar tidak menyebabkan kambuh. Rata-rata yang sudah boleh pulang dan kembali kambuh lagi, itu karena tidak rutin kontrol ke RSJ dan tidak mengonsumsi obat lagi, padahal itu sangat penting untuk menghindari kekambuhan, seperti ngamuk maupun melakukan tindakan berbahaya lainnya.
Obat yang diberikan kepada pasien untuk dikonsumsi setiap hari meliputi, obat antistres, antidepresi, anticemas, mood stabilizer, antigangguan emosi, obat tidur, antiobsesi kompulsit, vitamin otak dan obat lainnya. Pasien gangguan jiwa pun tidak mengenal kata sembuh, melainkan pulih, artinya setiap orang yang telah dinyatakan mengalami gangguan jiwa hanya dapat pulih dari gejala awalnya pasien tersebut dinyatakan alami gangguan jiwa. Metode non pengobatan untuk memulihkan pasien gangguan jiwa, diantaranya dengan melakukan konsultasi, bimbingan psikoterapi, bimbingan keluarga, bimbingan dukungan sosial dan terapi kerja. Dalam metode ini, sangat ditekankan kepada bimbingan keluarga, selain melakukan bimbingan terhadap pasien, keluarga pasien juga turut dibimbing, karena banyak keluarga yang menolak untuk membawa pasien pulang untuk dirawat di rumah, karena merasa takut dan malu. pasien kontrol rutin setiap bulan itu tujuannya adalah untuk mengevaluasi bagaimana perkembangannya. Obat yang akan diresepken juga sesuai pemeriksaan dokter pada saat kontrol itu. Sehingga kalau kontrol ke RSJ itu tidak hanya sekedar mengambil obat saja, tapi juga akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap si pasien. Maka dari itu RSJD Surakarta menetapkan kebijakan bahwa setiap kontrol pasien harus diajak. Ini tidak bermaksud mempersulit keluarga tapi demi kebaikan pasien agar perkembangan kesehatannya dapat lebih terpantau.




BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dalam pelaksanaan distribusi obat di rumah sakit secara nasional sudah diatur dalam peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, peraturan tersebut bermaksud untuk menciptakan pengawasan dan pengontrolan secara intensif dalam pengadaaan kefarmasian di lingkungan rumah sakit dan khususnya rumah sakit jiwa daerah Surakarta. Dalam pendistribusian kefarmasian di ruang lingkup rumah sakit jiwa daerah Surakarta yaitu Proses distribusi tersebut dilakukan dengan cara penanggung jawab gudang psikotropika membuat daftar permintaan barang sesuai dengan nama, dosis dan jumlah obat, yang telah ditandatangani oleh kepala Instalasi Farmasi, penanggung jawab gudang psikotropika, dan mengetahui atau ditandatangani oleh Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan juga kepala Bidang Penunjang Medis. Lembar daftar permintaan barang kemudian di serahkan kepada bendahara/pengurus barang gudang umum. Bendahara/pengurus barang kemudian memverifikasi daftar permintaan barang dan di cek sesuai stok yang tersedia pada gudang umum, selanjutnya obat disiapkan sesuai nama, dosis, jumlah, dan bersama-sama dengan penanggung jawab gudang psikotropika melakukan pengecekan sebelum serah terima.
B.       Saran
1.      Instalasi Farmasi
Mengembangkan suatu  pelayanan  farmasi  yang  luas  dan  terkoordinasi  dengan  baik  dan  tepat  untuk memenuhi  kebutuhan  berbagai  bagian/unit  diagnosis  dan  terapi,  unit  pelayanan keperawatan,  staf  medik  dan  rumah  sakit  keseluruhan  untuk  kepentingan  pelayanan penderita yang lebih baik.



2.      Rumah Sakit
Mengembangkan    keperluan    untuk  pemeliharaan   dan   pemulihan   kesehatan serta memberikan   pelayanan   kesehatan perorangan   secara   paripurna.



DAFTAR PUSTAKA
Siregar. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan I, Jakarta: Penerbit EGC
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2010. Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten / Kota. Jakarta:Kementerian kesehatan RI.

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  44 tahun 2009 tentang rumah sakit
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit
Undang Nomor 5 Tahun 1997 menyebutkan Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
PERMENKES Nomor 3 Tahun 2015 tentang Salah satu efek samping dari pemakaian obat psikotropika


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK MELALUI MEDIASI OLEH MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI) UNTUK DAPAT MENJAMIN KEADILAN DALAM HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN

Abstract Tulisan ini membahas penyelesaian sengketa medik melalui mediasi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk Dapat Menjamin Keadilan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) selama ini dianggap sebagai lembaga mediasi yang bisa menyelesaikan sengketa medik, tugas MKDKI sendiri adalah menindak  terjadinya praktik kedokteran yang tidak memenuhi standart yang ditentukan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum preskriptif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi pustaka. Teknik analisa bahan hukum yang digunakan adalah metode deduksi. Hasil penelitian ini menunjukkan peraturan perundang-undangan menjelaskan MKDKI bukan lembaga mediasi yang bisa menyelesaikan sengketa medis, justru hasil tugasnya yang mengawasi praktik kedokteran  menjadi bahan untuk dilakukannya penyelesaian sengketa medik secara mediasi

Melihat karakter orang dari eskrim

Melihat karakter orang dari makanan ES KRIM.. Setidaknya hal ini berdasar penelitian Baskin-Robbins dalam sebuah perayaan National Ice Cream Month. Dr Alan Hirsh selaku peneliti, dan penemu Smell & Taste Treatment dan Yayasan Penelitian menyebutkan, "kami menemukan bahwa orang yang lebih suka Rainbow Sherbet lebih pesimis daripada yang Anda pikir. Dan mereka yang lebih suka Rocky Road sebenarnya pendengar yang sangat baik." Singkatnya, di bawah ini ada 7 rasa es krim dan jenis kepribadian bagi penggemarnya. 1. Vanila Anda cenderung lebih impulsif, mudah diberi saran dan idealis, 2. Cokelat Anda cenderung dramatis, menawan, genit, menggoda dan mudah tertipu. 3. Strawberry Anda cenderung pendiam, toleran, setia dan introvert. 4. Mint Chocolate Chip Anda cenderung argumentatif, hemat, dan berhati-hati. 5. Chocolate Chip Anda cenderung murah hati, kompeten. 6. Rainbow Sherbet Anda cenderung analitik, tegas, dan pesimis. 7. Rocky Road And

Dokter Layanan Primer

1.           Dalam undang-undang praktik kedokteran yang digunakan adalah istilah dokter dan dokter gigi. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan . (Pasal 1) Dalam undang-undang kesehatan yang digunakan adalah istilah dokter dan dokter gigi. Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan . (Penjelasan Pasal 108 ayat (1) Dalam undang-undang rumah sakit yang digunakan adalah istilah dokter dan dokter gigi. Yang dimaksud de